Walau kita bisa bersepakat mengatakan Soekarno itu flamboyan, tapi masa remajanya bukan dihiasi oleh pacaran. Soekarno mendekam di kamar dengan Das Kapital. Karena itulah mungkin, Soekarno selalu mengatakan : “Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa aku jadi sasaran dari demikian banyak salah pengertian" (Bambang Widjanarko, 1986: 77)
"Membincangan Soekarno, terkadang sering membuat kita salah duga", setidaknya Cyndi Adams pernah suatu masa berkata demikian. Dan Putra Sang Fajar ini seringkali kita identikkan dengan sesuatu yang sebenarnya tidak menjadi pilihannya. Dianggap sebagai "pelindung komunis", bahkan bagian dari komunis itu sendiri. Padahal, bila dilihat garis sejarah yang dilalui putra tersayang Ida Ayu Rai ini, karena kecintaan luar biasanya terhadap konsep "kesatuan" Indonesia, ia menjadi figur yang sadar sejarah. Sebuah kesadaran sejarah yang mengakui entitas pembentuk negara-bangsa yang dicintainya ini. Entitas riil dimana gerakan Islam, kalangan nasionalis dan kaum Marxis menjadi kontributor lahirnya bangsa "Sumpah Palapa" ini. Bagi Bung Karno, gerakan Islam, Nasionalis, dan kaum Marxis punya tujuan sama : melawan kapitalisme dan imperialisme. Pada tahun 1960, ia "proklamirkan" Nasakom. Tiga kekuatan politik yang diwakili oleh PNI, Nahdlatul Ulama sebagai kelompok agama, dan Partai Komunis Indonesia (PKI), "disatukannya". Sebuah fantasi yang sebenarnya telah dipupuk Sokarno sejak ia masih muda. Ia merangkul tiga kekuatan politik itu. “Nasakom adalah jiwa yang berisi tiga kekuatan tempat kami berdiri tegak.” kata Bung Karno. “Lagi pula, banyak orang komunis yang tulang belulangnya berserakan di kuburan tak dikenal di Digoel . Mereka pejuang kemerdekaan yang ulung,” Bung Karno meyakinkan.
Lebih dari itu, Bung Karno juga gandrung kepayang terhadap persatuan Indonesia. Baginya, persatuan Indonesia adalah conditio sine qua non – syarat mutlak – bagi tegak dan jayanya Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Di hadapan anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ia memaparkan lima sila yang disodorkannya sebagai dasar negera Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang beritikan tentang persatuan ia tempatkan di urutan pertama dari Pancasila. “Saya ingin menunjukan bahwa Indonesia adalah satu kesatuan yang memilputi semua orang yang tinggal dari Sabang sampai Merauke,” ujarnya lantang. Soekarno mengakui menyerap ideologi dari berbagai sumber. Dari neneknya ia belajar kebudayaan Jawa dan Mistik. Ketika Soekarno masih berusia sekitar lima hingga enam tahun, ia punya kekuatan supranatural. “Kakek dan neneknya mengatakan, aku mempunyai kekuatan gaib,” kata Soekarno. Setiap kali ada tetangganya yang sakit, Soekarno kecil diminta neneknya untuk menyembuhkannya.
“Dengan lidahku aku menjilati bagian yang dirasakan sakit. Anehnya, orang sakit itu sembuh,” kata Soekarno. Kekuatan gaib Soekarno itu, mehilang saat dia menemukan kekuatan pidatonya di depan rakyat. Sejak saat itu, lidah sakti Bung Karno menyihir orang lewat pidatonya. Pada tahun 1928, seminggu sekali ia keliling kota Bandung berpidato. “Aku memekik-mekik kepada ratusan rakyat yang menyebut di tanah lapang,” katanya. Saat berpidato Soekarno juga mampu mensintesakan ilmu modern dengan kebudayaan rakyat. Hasilnya berupa pesan-pesan dan pengharapan yang hidup dapat diserap oleh rakyat kecil. “Inilah yang disebut orang dengan istilah Soekarnoisme,” kata Bung Karno.
Ketampanan dan kecerdasannya dikagumi banyak. Tak pelak lagi, ada sebagain orang memitoskan Soekarno sebagai Ratu Adil dengan julukan Heru Cokro.Kehadiran Soekarno diyakini akan menyelamatkan bangsanya dari cengkaraman penjajah. Mitos Ratu Adil ini sempat disoal oleh Hakim kolonial Belanda yang mengadili Soekarno di Landraad, Bandung tahun 1930. Pada kesempatan itu, Soekarno memaparkan, soal mitos Ratu Adil itu bukanlah bikinannya. Bukan pulan ciptaan “kaum pergerakan.” “Tetapi, karena hati rakyat dalam menangis mengharap pertolongan,” kata Bung Karno.
Bung Karno, menganal politik sejak masih berusia belasan tahun, saat Sokarno belajar HBS (Sekolah Menengah zaman Belanda), di Surabaya. Pada waktu itu, ia indekos di rumah tokoh peregrakan nasional. Haji Omar said (HOS) Cokroaminto. Ia menggumi pula gaya pidato KH Ahmad Dahlan yang saat itu kerap berkunjung ke sana. “Dari Pak Cokro aku belajar Islam dan Sosialisme. Aku menghirup lebih banyak lagi persoalan politik dan nasionalisme dari kawannya yang datang ke rumah itu,” kata Soekarno. Pada waktu itu, tokoh pergerakan nasisonal seperti Douwes Dekker, Tjipto Mangukusumo, Sneevleit, dan Husni Thamrin, sering bertandang di rumah Cokroaminoto di Jalan Paneleh. Mereka mengadakan diskusi yang membahas berbagai persaolan bangsanya. Di rumah itu Soekarno juga bergaul dengan Alimin, Muso, dan Kartosuwiryo, pemuda indekosan di sana yang kemudian menjadi pelaku sejarah.
Bahkan, Bung Karno menyebut Kartosuwriyo yang kemudian memimpin pemberontakan DI/TII ini sebagai teman makan dan temam mimpinya. “Pak Alimin dan Pak Muso sering bertindak sebagai guruku dalam politik,” kata Soekarno. Dua orang ini kemudian berlayar ke Rusia, belajar komunisme, lalu mendirikan PKI. Muso kembali ke tanah air beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, dan memimpin pemberontakan PKI di Madiun 1948. Alimin tak terlalu terlibat. Muso tewas dalam pemberontakan itu. Alimin selamat. Bung Karno kerap membesuk Alimim yang sakit-sakitan di hari tuanya.
Tapi sikap Bung Karno kepada mantan gurunya itu mendapat kecaman dari lawan politiknya. “Surat kabar pun menulis : ”Hee.. lihat Soekarno mengunjungi komunis,” ujar Bung Karno mengisahkan sikap pers. Bung Karno juga mengaku memperdalam persolaan nasionalisme dan ekonomi dari Sun Yat Sen pendiri Gerakan Nasionalis Cina yang menerbitkan buku San Min Chu-I. Ia menambah renungan dari Karl Marx dengan pandangan Thomas Jefferson, tokoh besar dalam sejarah Amerika Serikat. Ketika para remaja seusianya masih asyik berpacaran, Soekarno mendekam di kamar dengan Das Kapital. “Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa aku jadi sasaran dari demikian banyak salah pengertian.”
sumber
Referensi : Cyndi Adams (1981), Bambang W. (1986), Hedi Lugito (2001).
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih untuk tidak melakukan SPAM
Baca juga artikel menarik yang lainnya di :
http://veiledveiled.blogspot.com/