Inilah Kebohongan dan Kelicikan Para Petinggi Ahmadiyah Dalam Upaya Mencari Simpati Publik [Part 1]

Written By Jandika on Friday, February 25, 2011 | 5:21:00 PM



Oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Hamzah Tede
Ujian bagi Ummat, mau jadi munafiq (musuh Islam), mengaku Islam namun membela Ahmadiyah pemalsu Islam, atau pilih tetap mu’min dengan setia membela Islam

Pucuk pimpinan dan para petinggi Ahmadiyah jelas bukan orang yang innocence atau lugu. Perhatikan saja elite-elite Ahmadiyah saat tampil di depan publik, terkesan cerdas. Namun demikian, kecerdasan belum tentu sejalan dengan keimanan dan belum tentu memperoleh hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kecerdasan itu bila berada di jalan kesesatan, cenderung menjadi licik. Salah satu wujud licik adalah berbohong. Nah, dalam hal ini orang-orang Ahmadiyah memang jagonya, sebagaimana elite-elite aliran dan paham sesat lainnya seperti LDII, Syi’ah dan sebagainya.

Kebohongan yang dipublikasikan petinggi Ahmadiyah sangat tinggi kedustaannya, yaitu berkenaan dengan syahadat. Di depan publik mereka mengaku dan mengucapkan dua kalimat syahadat persis sama dengan dua kalimat syahadat yang biasa diucapkan umat Islam: Asyhadu An laa ilaaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadarasulullah.


أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang disembah dengan haq) kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Namun, sesungguhnya Muhammad yang mereka maksud dalam dua kalimat syahadat tadi, adalah Mirza Ghulam Ahmad. Dalam sebuah buku berjudul Memperbaiki Kesalahan yang ditulis oleh H.S. Yahya Pontoh dan diterbitkan oleh Jemaah Ahmadiyah Bandung (1993), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Muhammad pada syahadat mereka bukanlah Muhammad bin Abdullah yang lahir di Makkah Al-Mukarramah, tetapi “Ahmad” alias Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India, yang merupakan nabi para penganut Ahmadiyah Qadiyan.

Sekali lagi, Nama MUHAMMAD dalam syahadat tersebut menurut para pengikut/tokoh Ahmadiyah adalah Nabi/Rasul mereka, yaitu Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India, sebagaimana tercantum dalam bukuMemperbaiki Kesalahan,karya Mirza Ghulam Ahmad, yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya Pontoh, dan diterbitkan oleh Jemaah Ahmadiyah cabang Bandung, tahun 1993, pada halaman 5 tertulis:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Dalam wahyu ini Allah SWT menyebutku Muhammad dan Rasul_”(KitabTadzkirahhalaman 97).

Itulah dusta dan liciknya Ahmadiyah: ayat yang jelas-jelas mengenai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun diputar balikkan menjadiAllah SWT menyebutku(maksudnya Mirza Ghulam Ahmad sebagai)Muhammad dan Rasul.

Apa yang disebut wahyu dalam kitab Ahmadiyah yakni Tafzkirah lalu lafal Muhammad diselewengkan maksudnya menjadi Mirza Ghulam Ahmad itu sejatinya adalah ayat Al-Qur’an. Inilah ayat yang dibajak Ahmadiyah, kemudian dipalsukan maknanya, lalu digunakan untuk menjelaskan bahwa syahadat Ahmadiyah sama dengan syahadat Islam namun maknanya beda:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ [الفتح/29]

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS Al-Fath/ 48: 29).

Lafal Muhammad di situ tidak dapat dibajak-bajak apalagi dipalsu menjadi Mirza Ghulam Ahmad, karena berkaitan pula dengan pujian terhadap sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ditunjukkan dengan pujian Allah terhadap mereka:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا [الفتح/18]

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon[1399], maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)[1400]. (QS Al-Fath/48: 18)[1399]. Lihat no. [1396]. [1396].

Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan 'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan.

Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. Mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai'ah (janji setia) kepada beliau.

Merekapun mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai'atur Ridwan.

Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.

[1400]. Yang dimaksud dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar.

Jelaslah dari dua ayat (QS Al-Fath 29 dan Al-Fath: 18) itu lafal Muhammad hanyalah khusus untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni bin Abdullah lahir di Makkah yang kemudian para sahabatnya berbai’at di bawah pohon, lalu mengadakan perjanjian Hudaibiyah dengan kafirin Quraisy.

Ketika ada yang disebut wahyu dari Allah mengklaim ayat itu lalu makna Muhammad adalah Mirza Ghulam Ahmad itu jelas dusta. Namun dusta itu justru untuk mendustai pula, yakni bunyi syahadatnya sama dengan syahadat Islam namun maknanya beda. Ini dusta atas nama Allah membuahkan dusta atas nama syahadat. Betapa beraninya mereka dalam berdusta.

Demikian di antara bukti tingginya sikap licik dan dusta Ahmadiyah.

***
Pasca penyerangan markas Ahmadiyah di Parung, Bogor, Juni 2005, Abdul Basith (Amir Nasional Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia), ketika diwawancarai Metro TV selalu menyebut nama Mirza Ghulam Ahmad dengan tambahan Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana umat Islam menyebut Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini menjadi salah satu bukti, bahwa pengikut Ahmadiyah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Namun, mereka menyembunyikan akidah sesatnya melalui mekanisme pertahanan diri taqiyyah sebagaimana juga berlaku di kalangan LDII, Syi’ah (termasuk Ahlul Bait) dan sebagainya.

Meski menyebut Mirza Ghulam Ahmad lengkap dengan sebutan Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun Abdul Basith dalam rangka taqiyyah kala itu menyebut Mirza Ghulam Ahmad “hanya” sebagai mursyid. Menurut salah seorang aktivis Ahmadiyah Lahore, gara-gara ucapannya itu Abdul Basith sempat dimarahi oleh pimpinan pusatnya di London: “Mirza Ghulam Ahmad itu nabi!” Begitu mereka memarahi Abdul Basith Amir Nasional Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia.

Di TVONE (edisi 18 Februari 2011), ketika berada dalam satu forum dengan Amin Djamaluddin dari LPPI dan Ali Mustafa Ya'qub (mantan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI), salah satu jurubicara Ahmadiyah berusaha meyakinkan khalayak bahwa Ghulam pada nama tengah Mirza Ghulam Ahmad berarti budak. Maksudnya, Mirza Ghulam Ahmad itu budaknya si Ahmad, dan Ahmad yang dimaksud adalah Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini juga sesat.

Dengan kekuatan akal liciknya, mereka berusaha meyakinkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad “hanya” budak Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan Muhammad itu sendiri, dengan cara-cara yang berlebihan, “bahasa pasaran” sekarang lebay (berlebihan, dilebih-lebihkan), bahkan sesat menyesatkan. Karena, tidak ada bukti sejarah bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu budak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Budak adalah orang kafir yang berperang melawan Muslimin lalu tertawan, maka jadi budak, dan boleh memerdekakan diri dengan cara menebus.

Merekayasa Simpati

Upaya-upaya bohong di atas adalah bagian dari cara kelompok Ahmadiyah merekayasa simpati, tentunya dalam rangka memperoleh dukungan. Begitu juga ketika berhadapan dengan para wakil rakyat (anggota DPR RI) yang terhormat, mereka berusaha menarik simpati khalayak dengan mengklaim bahwa WR Supratman (1903-1938) pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya adalah pengikut Ahmadiyah. Rasanya, pengakuan sepihak kalangan Ahmadiyah itu masih perlu dikonfirmasi kepada pihak keluarga besar WR Supratman. Benarkah demikian?

Lagi pula, tidak disebutkan secara jelas, apakah WR Supratman pernah menjadi bagian dari komunitas Ahmadiyah Qadian atau Ahmadiyah Lahore? Yang jelas, bagi Ahmadiyah Qadian (JAI, Jemaat Ahmadiyah Indonesia), siapa saja yang tidak mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad adalah kafir. Termasuk Ahmadiyah Lahore (GAI, Gerakan Ahmadiyah Indonesia), yang “hanya” menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaharu) juga dinyatakan kafir. Padahal sama-sama memalsu Islam pula. (Lihat artikel Hartono Ahmad Jaiz, Ahmadiyah Qodyan dan Ahmadiyah Lahore sama-sama Pemalsu Islam). Kalau toh benar WR Supratman pengikut Ahmadiyah, tidak ada pengaruhnya dengan fakta kesesatan Ahmadiyah (Qadian maupun Lahore).

Pada tahun 1926, Haji Rasul yang merupakan ayahanda Buya HAMKA dari Sumatera Barat berangkat ke Yogyakarta, mendatangi tokoh-tokoh Muhammadiyah saat itu untuk memberi pencerahan soal kesesatan Ahmadiyah Qadiyan dan Lahore. Karena, saat itu salah satu aktivis Muhammadiyah, Raden Ngabehi Hadji Minhadjurrahman Djojosoegito, terinfeksi Ahmadiyah Lahore. Upaya Haji Rasul ternyata mampu menyadarkan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Kemudian di tahun 1929, pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo, dikeluarkan pernyataan: orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir. Maka, Raden Ngabehi Hadji Minhadjurrahman Djojosoegito pun tercerabut dari Muhamadiyah. Sebagai catatan tambahan, Raden Ngabehi Hadji Minhadjurrahman Djojosoegito merupakan saudara sepupu Hasyim Asy’ari (1871-1947) salah seorang pendiri NU (Nahdlatul Ulama).

Jadi, sudah sejak awal kehadirannya di Indonesia, Ahmadiyah (Qadian dan Lahore) sudah ditolak umat Islam, bukan baru kemaren sore, ketika Fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah dirilis ke hadapan publik pada Juni 1980 (Rajab 1400 H), dalam Musyawarah Nasional II MUI di Jakarta.

Menurut catatan Setara Institute, aksi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah terjadi hampir setiap tahun. Misalnya pada tahun 2007 terjadi 15 kasus, pada tahun 2008 sebanyak 238 kasus, pada 2009 ada 33 kasus. Kalau data itu benar, penyebabnya bukan Fatwa MUI yang sudah dirilis sejak 1980. Abdul Basith sendiri mengakui, sejak Fatwa 1980 itu diterbitkan, tidak ada aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah. Begitu juga di masa pra kemerdekaan, 1933, ketika Ahmadiyah “berdialog” dengan kalangan Persis, tidak menghasilkan kekerasan.

Abdul Basith dan laron-laron AKKBB menuding Fatwa MUI 2005 menjadi pemicu tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah, setidaknya sejak 2007 sebagaimana disebutkan di atas. Data tersebut jelas tidak akurat. Karena, kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah berlangsung sejak tahun 2000 di masa Presiden Abdurrahman Wahid, dan Ketua MPR dijabat Amien Rais. Pemicunya, ucapan Tahir Ahmad yang sesumbar akan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pengikut Ahmadiyah terbesar di dunia.

Sesumbar itu diucapkan Tahir Ahmad (Khalifah Ke-4 Ahmadiyah) ketika ia dihadirkan ke Jakarta oleh Dawam Rahardjo. Pantas saja Tahir Ahmad mangkak (berbangga) karena ia diperlakukan bagai tamu negara oleh Dawam Rahardjo: dibawa menghadap Presiden Abdurahman Wahid dan Ketua MPR RI Amien Rais yang hingga kini masih belum bertobat dari membela Ahmadiyah yang sesat dan menyesatkan itu.

Dalam bilangan hari, kekerasan terhadap pemukiman Ahmadiyah terjadi. Namun tidak diberitakan secara intensif oleh media massa, dan tidak banyak menuai komentar dari para pendukungnya, karena laron-laron itu belum mengorganisasikan diri ke dalam wadah cair bernama AKKBB. Mungkin karena dananya belum turun dari London. Jangan juga heran bila AKKBB dirilis ke publik sekitar Juni 2008, mungkin untuk mengenang satu windu kehadiran Tahir Ahmad.

Kenapa dikaitkan dengan dana?

Ya, karena penulis pernah bertanya langsung di kompleks Ahmadiyah di Parung Bogor kepada petugas waktu Tahir Ahmad datang ke kompleks itu. Pertanyaan yang kami ajukan: Dari mana dananya, Dawam Rahardjo kok datang ke London untuk mengundang Tahir Ahmad ke Indonesia?

Dijawab, dari Ahmadiyah.

Ahmadiyah dananya dari mana?

Dari jemaat Ahmadiyah. Tiap anggota ditarik dana seperenambelas (dari penghasilannya) perbulan.

Pembaca yang kami hormati, dalam kasus semacam ini, kadang orang non Islam pun kurang mampu untuk memahami tingkah polah di antara tokoh-tokoh yang mengaku Islam namun membela yang memalsu Islam dan yang sesat-sesat. Sampai-sampai ketika Dawam Rahardjo jadi pembicara di depan para aktivis gereja di Balai Sarbini di Semanggi Jakarta beberapa tahun lalu, ada yang bertanya setelah selesainya pemaparan Dawam.

Pertanyaannya: Lantas, kalau begitu, apa yang telah Pak Dawam lakukan?
Dawam Rahardjo kurang lebihnya menjawab, bahwa dirinya dalam keadaan sakit-sakit panas-panas mendemo Menteri Agama untuk membela Lia Eden dan Ahmadiyah.

Jadi, membela kesesatan yang amat sangat sesat itu justru dibangga-banggakan… Sementara itu orang yang dipameri pun belum tentu senang dengan apa yang dipamerkan itu. Murka Allah Ta’ala sudah jelas, sedang kecintaan manusia yang mau dikais-kaisnya belum tentu didapat. Betapa ruginya.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih untuk tidak melakukan SPAM
Baca juga artikel menarik yang lainnya di :
http://veiledveiled.blogspot.com/

Tips Unik

Daftar Postingan